Batas Usia Minimum Calon Presiden Dianggap Bukan Isu Konstitusional
Ahli dari Perludem, Bivitri Susanti, yang dihadirkan dalam sidang pengujian batasan usia sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam UU Pemilu, menyatakan bahwa batasan usia sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden bukanlah isu yang bersifat konstitusional. Batasan usia minimum dan maksimum bukanlah hal yang umumnya diatur dengan ketat, karena kemampuan politisi diukur berdasarkan rekam jejak mereka.

"Oleh sebab itu, berbagai negara memiliki berbagai batasan usia, karena kemampuan politik dan daya pikir tidak dapat disamakan dengan kondisi fisik," ujarnya dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (29/8). Bivitri menjelaskan bahwa dengan kemajuan kedokteran dan ilmu pengetahuan, biasanya batasan usia ditentukan oleh kebijakan dan bukanlah hal yang tidak dapat diubah. Karena berbagai jenis jabatan dapat dievaluasi berdasarkan pengetahuan ilmiah dan tidak memiliki keterkaitan dengan hukum.
Selain itu, pembuat kebijakan dapat mengajukan argumen mengenai batasan usia yang sesuai dalam konteks pembentukan kebijakan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Misalnya, kemampuan dalam mengelola informasi dan komunikasi, tetapi dari sudut pandang hukum, hanya hak-hak dan aspek-aspek non-hukum atau non-konstitusional yang dapat diperdebatkan. Karena dalam hal ini, hak-hak seperti batasan usia dewasa ada. Dalam konteks pemilihan, ada batasan usia minimum untuk hak memilih.
"Karena itu, dalam kasus ini, yang perlu diperhatikan bukanlah model usia, tetapi akan adanya asumsi bahwa budaya politik dan budaya feodalisme di Indonesia membuat rekam jejak politik tenggelam dalam latar belakang keluarga dan gelar. Akibatnya, usia sering kali digunakan sebagai filter untuk mencegah orang atau pihak yang tidak berpengalaman menjadi politisi," jelasnya.
Menurutnya, perdebatan mengenai batas usia minimum untuk dipilih sebaiknya tetap berada dalam ranah kebijakan. Ini bukanlah masalah yang perlu dipindahkan ke ranah konstitusional. Harapannya, dengan kedewasaan dalam dunia politik yang berkembang dan peradaban politik yang semakin baik, hal ini dapat diatur secara kontekstual.
"Jika MK yang mengambil keputusan, maka fleksibilitas yang mempertimbangkan konteks dapat hilang karena batasan usia akan menjadi isu konstitusional yang harus dianalisis ulang oleh Mahkamah dengan logika yang tidak konsisten," kata Bivitri.
Sunandiantoro, kuasa hukum dari pihak yang terkait, Evi Anggita dan lainnya, menyampaikan bahwa para warga negara yang telah diberikan hak dalam pemilihan presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk mencalonkan diri. Oleh karena itu, pembatasan usia pencalonan presiden dan wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun justru akan menyebabkan diskriminasi terhadap warga negara lain.
"Jika pada permohonan dijelaskan bahwa batas usia minimum calon presiden dan wakil presiden setidaknya 35 tahun dianggap tidak membatasi hak konstitusional orang lain, sedangkan batas usia maksimal 70 tahun dianggap membatasi hak konstitusional orang lain, itu aneh dan tidak konsisten. Kami berharap para elit politik memberikan edukasi dan etika politik yang baik, agar politik tidak memanipulasi hukum seperti dalam hal ini Mahkamah Konstitusi," kata Sunandiantoro.
Sementara itu, Rayhan Fiqi Fansuri (Pihak Terkait I) dan Sultan Bagarsyah (Pihak Terkait II) memberikan keterangan terkait permohonan Nomor 29/PUU-XXI/2023. Sebagai warga negara perseorangan, mereka memiliki hak untuk menentukan calon presiden dan wakil presiden serta merespons isu penurunan batas usia minimum untuk calon presiden dan wakil presiden. Sultan Bagarsyah menyatakan bahwa pasal yang diuji tidak melanggar nilai-nilai moral, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat diterima, serta hak warga negara untuk dipilih dan memilih.
Oktavianus Rasubala juga memberikan keterangan sebagai pihak yang terkait untuk tiga perkara di atas. Sebagai warga negara perseorangan, ia merasa berhak untuk mempertahankan sistem demokrasi berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu, menurutnya, peraturan perundang-undangan terkait pemilu harus sesuai dengan amanat UUD 1945.
"Sebagai seorang praktisi hukum, saya menilai permohonan pemohon ini jauh dari persoalan konstitusionalitas norma. Oleh karena itu, kategorisasi usia harus berdasarkan fungsi yang sulit diukur dan terkait pasal yang diuji ini konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 serta aturan yang benar," kata Oktavianus.
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) juga memberikan keterangan sebagai pihak yang terkait. Melalui Kaka Suminta, KIPP dan JPPR menyatakan bahwa sebagai lembaga atau organisasi terdaftar yang memantau jalannya pemilu, mereka memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan uji materi atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
"Jika menganggap usia 35 tahun sebagai batas usia yang adil untuk calon, maka usia lainnya seperti 30 tahun juga adil. Usia tidak dapat menentukan kematangan dan kemampuan kepemimpinan seseorang. Oleh karena itu, tak dapat diukur hanya berdasarkan usia kronologis. Pada usia 40 tahun atau 35 tahun, seseorang masih dapat meraih pencapaian luar biasa dalam kontribusinya. Jadi, mengandalkan usia calon saja bisa mengabaikan nilai-nilai lain yang penting, seperti pendidikan, pengalaman, pencapaian, dan dedikasi. Pengalaman yang berkualifikasi, misalnya, lebih konkret dalam menilai calon karena mencakup visi, rencana konkret, dan kemampuan untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan oleh rakyat," tegas Kaka.
What's Your Reaction?






